Telah dilihat sebanyak

Menghitung angka-angka kecelakaan menurut Dainur (1992), yang meliputi:

a) Angka frekuensi kecelakaan kerja (Frequency Rate)

FR = Banyaknya kecelakaan x 1.000.000Jumlah total jam kerja

b) Angka keparahan kecelakaan kerja (Safety Rate)

SR = Jumlah hari kerja yang hilang x 1.000.000

Jumlah seluruh jam kerja manusia

Dimana: Jumlah hari kerja yang hilang ditentukan dengan menggunakan Standar Nasional Indonesia oleh Departemen Tenaga Kerja RI tahun 2001.

c) Safe-T-score (STS)

Safe-T-Score = FR (n)-FR (n-1)

FR (n-1)

Keterangan: FR (n) = Angka frekuensi kecelakaan kerja kini FR (n-1) = Angka frekuensi kecelakaan kerja lampau Safe-T-score adalah angka yang tidak memiliki dimensi, arti angka Safe-T-Score positif menunjukkan keadaan yang memburuk, dan sebaliknya jika angka Safe-T-Score negatif menunjukkan keadaan membaik.

a. STS antara +2,00 dan -2,00 tidak menunjukkan perubahan berarti

b. STS diatas +2,00 menunjukkan keadaan memburuk

c. STS dibawah -2,00 menunjukkan keadaan yang membaik

Perhitungan Incident Rate

Apakah ada yang punya referensi mengenai perhitungan Incident Rate? Dalam sebuah referensi yang saya dapatkan, hitungannya sbb:

Incident Rate = (N/Ht)(200.000); dimana:

N = number of injuries/illness/loss workday

Ht = total hours worked by all employees during a year

use 173.3 hours per employee per month if hours are unknown.

Misalnya, ada 4 kali illness dalam sebulan, jadi N = 4 x 8 = 32. Jika katakanlah total pekerja sebanyak 50 orang, jadi sebulan ada 50 x 173.3 = 8665 hours. Sehingga, Incident Rate menjadi 32/8665*200.000 = 738,6. (But please correct me if I'm wrong about this calculation)

Nah, yang menjadi pertanyaan-nya adalah:

1. Apakah maksud angka 738,6 itu? Apakah acuannya? Dan apakah ada perbandingannya dengan angka di Industry Average?

2. Di batas Rate berapa-kah angka tersebut terkategorikan baik atau buruk secara HSE Performance?

3. Apakah ada referensi perhitungan Incident Rate dengan metode umum lainnya berdasarkan field best practise?

Mohon pencerahan rekan-rekan migas yaaa yang mungkin sudah lebih mumpuni di bidang HSE. Terima kasih sekali atas pencerahannya.

Saya coba sharing berdasarkan yang pernah saya baca dan saya dapatkan dalam training: Apakah ada yang punya referensi mengenai perhitungan Incident Rate? Ada dua standart yang saya ketahui tentang perhitungan incident rate:

1. Standart ILO IR= (jumlah kecelakaan yang terjadi/jumlah jam kerja)* 1.000.000

2. Standart OSHA/SMK3, IR = (jumlah kecelakaan yang terjadi/Jumlah jam kerja)*200.000 (CMIIW)

Dalam sebuah referensi yang saya dapatkan, hitungannya sbb:

Incident Rate = (N/Ht)(200.000) ; dimana:

N = number of injuries/illness/ loss workday

Ht = total hours worked by all employees during a year

use 173.3 hours per employee per month if hours are unknown.

Sedikit koreksi tentang N di atas:

Ijuries ada beberapa kategori : ada Fatality,Lost time injury, Medical treatment (MTC), dan first aid (FAC).

Ilness adalah penyakit akibat kerja (ada yang dampaknya langsung terasa dan ada yang beberapa tahun kemudian).

Lost work days atau lebih terkenal dengan Lost Time injury adalah kehilangan jam kerja akibat kecelakaan.

Untuk masalah perhitungan jumlah jam kerja seharusnya actual karena bisa kita dapat dari HR atau time keeper jadi jarang yang unknown….atau secara perkalian misalnya jam kerja normal 8 jam/hari, bekerja 25 hari dalam sebulan, 12 bulan dalam setahun, maka perkaliannya adalah: 8*25*12 =2400 jam/orang, jadi kalau 50 orang menjadi 120000/tahun……atau 50*8*25=10.000/bulan.

Incident rate biasa kami hitung perbulan dan terus berjalan rata-rata sampai akhir tahun (monthly HSE performance).

Misalnya, ada 4 kali illness dalam sebulan, jadi N = 4 x 8 = 32. Jika katakanlah total pekerja sebanyak 50 orang, jadi sebulan ada 50 x 173.3 = 8665 hours. Sehingga, Incident Rate menjadi 32/8665*200. 000 = 738,6. (But please correct me if I'm wrong about this calculation) Mungkin maksud Bapak adalah Injury ( kecelakaan 4 x dalam sebulan, misalnya semuanya lost time ) maka perhitungannya adalah:

(4/120.000)*200.000 = 6,67/tahun (lumayan tinggi) >>>>>>> saya kurang paham angka 8 bapak darimana???

Nah, yang menjadi pertanyaan-nya adalah:

1. Apakah maksud angka 738,6 itu? Apakah acuannya? Dan apakah ada perbandingannya dengan angka di Industry Average?

Angka 738,6 atau 6,67 itu adalah performance dari safety perusahaan, semakin tinggi angka tersebut menandakan perusahaan tersebut tidak safety karena banyak kecelakaan….

Biasanya angka tersebut dimuat didalam HSE objective and target dan dibahas di dalam management review

2. Di batas Rate berapa-kah angka tersebut terkategorikan baik atau buruk secara HSE Performance?

Angka tersebut baik (dan seharusnya) adalah bila kita dapat = 0 artinya zero LTI (tidak ada kehilangan jam kerja akibat kecelakaan)….biasanya dapat penghargaan dari pemerintah

3. Apakah ada referensi perhitungan Incident Rate dengan metode umum lainnya berdasarkan field best practise?

Berdasarkan pengalaman maka yang saya hitung adalah:

LTIR (lost time injury rate) = jumlah kecelakaan yang mengakibatkan kehilangan hari kerja/jumlah jam kerja * 200.000

Adalagi MTIR (medical treatment injury rate), FAIR (first aid Injury rate), severity rate (jumlah hari yang hilang akibat kecelakaan) dan total incident frekwensi rate

Demikian sedikit sharing yang bisa saya sampaikan…mudah mudahan sedikit membantu, mohon maaf kalau ada yang keliru

Thank’s and have a nice day

Dear Pak John & anggota milis lainnya,

Terima kasih sharingnya pak, sangat berguna... Kalau boleh sedikit mau tanya lagi tentang perhitungan tersebut:

Sesuai pencerahan bapak, Variabel N tersebut mengacu kepada Injuries (ada Fatality,Lost time injury, Medical treatment (MTC), dan first aid (FAC)), Ilness (penyakit akibat kerja (ada yang dampaknya langsung terasa dan ada yang beberapa tahun kemudian)), dan Lost work days atau lebih terkenal dengan Lost Time injury adalah kehilangan jam kerja akibat kecelakaan.

Nah yang menjadi pertanyaannya adalah (maaf nih kok malah jadi banyak pertanyaannya):

1. Bagaimana jika dalam satu hari terdapat accident, namun tidak sampai loss work days? apakah dihitung dengan nilai 1 juga?

2. Kemudian, untuk kategori illness, jika misalnya ada pekerja yang izin tidak masuk karena sakit, misalnya dengan alasan "klasik" seperti "tidak enak badan, perlu istirahat", apakah itu dihitung dengan nilai 1 juga? ataukah nilai itu hanya untuk yang berhubungan dengan pekerjaan saja dan loss workdays?

3. Bagaimana jika sampai fatality (kematian)? apakah juga dimasukkan dalam perhitungan tersebut? Jika ya, berapakah angka yang dimasukkan kedalam nilai N tersebut? kalau hanya dimasukkan 1, saya kira malah gak match karena kalau injury kan juga dimasukkan 1.

4. Jika memang suatu pekerjaan dikategorikan high risk, berapakah biasanya nilai IR yang ditargetkan dalam management review? Kalau target-nya 0, pasti memang sangat baik. Tapi, jika suatu ketika terjadi accident, berapakah nilai IR yang kira-kira masih acceptable? Hal ini tentunya sangat berguna untuk menjadi acuan management dalam menetapkan target tahunannya. Apakah ada yang punya referensinya berdasarkan pengalaman best practise?

Note: (4/120.000)* 200.000 = 6,67/tahun (lumayan tinggi) >>>>>>> saya kurang paham angka 8 bapak darimana??? ---> Tadinya asumsi saya N itu mengacu kepada jumlah work daysnya, jadi asumsi saya sehari itu 8 jam kerja... maklumlah pak sama-sama masih belajar kan... :)

Mohon pencerahannya sekali lagi, dan mungkin jika ada masukan dari anggota milis lainnya.... Terima kasih banyak....

STATISTIK ITU ?

dikemukakan oleh : Suseno Hadi bahwa Secara sempit statistik dapat diartikan sebagai data. Dalam arti yang luas statistik dapat berarti sebagai alat untuk : menentukan sampel, mengumpulkan data, menyajikan data, menganalisa data dan menginterpretasi data, sehingga menjadi informasi yang berguna.

JENISNYA

• Statistika dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Statistik Deskriptif dan Statistik Inferensial. Selanjutnya statistik inferensial dibedakan menjadi Statistk Parametris dan Non-parametrik.

• Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menggambarkan suatu hasil observasi atau pengamatan. Juga hasil akhirnya tidak digunakan untuk menarik kesimpulan.

• Statistik inferensial adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data/hasil observasi dari sampel, yang hasilnya akan digeneralisasikan (diinferensikan) untuk populasi dimana sampel tersebut diambil. Selanjutnya yang disebut sebagai Statistik Parametris terutama digunakan untuk menganalisa data interval/rasio dan diasumsikan distribsinya normal. (bell-shaped). Statistik non-parametrik digunakan untuk menganalisa data nominal dan ordinal.

STATISTIK DALAM PENILAIAN KINERJA PROGRAM K3
Tujuan dan manfaat statistik dalam penerapan K3 adalah digunakan untuk menilai ‘OHS Performance Programs’. Dengan menggunakan statistik dapat memberikan masukan ke manajemen mengenai tingkat kecelakaan kerja serta berbagai faktor yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mencegah menurunnya kinerja K3.
Konkritnya statistik dapat digunakan untuk :
• Mengidentifikasi naik turunnya (trend) dari suatu timbulnya kecelakaan kerja
• Mengetahui peningkatan atau berbagai hal yang memperburuk kinerja K3
• Membandingkan kinerja antara tempat kerja dan industri yang serupa (T-Safe Score)
• Memberikan informasi mengenai prioritas pengalokasian dana K3
• Memonitor kinerja organisasi, khususnya mengenai persyaratan untuk penyediaan sistim/tempat kerja yang aman

Jenis-jenis penerapan Statistik dalam Aspek K3 :

1. Ratio Kekerapan Cidera (Frequency Rate)
Frekwensi Rate digunakan untuk mengidentifikasi jumlah cidera yang menyebabkan tidak bisa bekerja per sejuta orang pekerja. Ada dua data penting yang harus ada untuk menghitung frekwensi rate, yaitu jumlah jam kerja hilang akibat kecelakaan kerja (Lost Time Injury /LTI) dan jumlah jam kerja orang yang telah dilakukan (man hours).
Angka LTI diperoleh dari catatan lama mangkirnya tenaga kerja akibat kecelakaan kerja. Sedang jumlah jam kerja orang yang terpapar diperoleh dari bagian absesnsi atau pembayaran gaji. Bila tidak memungkinkan, angka ini dihitung dengan mengalikan jam kerja normal tenaga kerja terpapar, hari kerja yang diterapkan dan jumlah tenaga kerja keseluruhan yang beresiko.

Rumus:

Frekwensi Rate = (Jumlah cidera dgn hilang waaktu kerja x 1,000,000) / Total Person-hours Worked

Contoh:
Organisasi dengan tenaga kerja 500 orang, jumlah jam kerja yang telah dicapai 1,150,000 juta jam kerja orang. Pada saat yang sama cidera yang menyebabkan hilangnya waktu kerja sebanyak 46. Berapa frekwensi ratenya ?

Frekwensi Rate = 46 x 1,000,000 / 1,150,000 = 40

Nilai frekwensi rate 40 berarti, bahwa pada periode orang kerja tersebut terjadi hilangnya waktu kerja sebesar 40 jam per-sejuta orang kerja. Angka ini tidak mengindikasikan tingkat keparahan kecelakaan kerja. Angka ini mengindikasikan bahwa pekerja tidak berada di tempat kerja setelah terjadinya kecelakaan kerja.

2. Ratio Keparahan Cidera (Severity Rate)
Indikator hilangnya hari kerja akibat kecelakaan kerja untuk per sejuta jam kerja orang.
Rumus :

Severity Rate = ( Jumlah hari kerja hilang x 1,000,000)/ Total Person-hours Worked

Contoh:
Sebuah tempat kerja telah bekerja 365,000 jam orang, selama setahun telah terjadi 5 kasus kecelakaan kerja yang menyebabkan 175 hari kerja hilang. Tentukan rate waktu kerja hilang akibat kecelakaan kerja tersebut.


Frekwensi Rate = ( 5 x 1,000,000) / 365,000 = 13,70


Severity Rate = (175 x 1,000,000) / 365,000 = 479

Nilai severity rate 479 mengindikasikan bahwa selama kurun waktu tersebut berarti, pada tahun tersebut telah terjadi hilangnya waktu kerja sebesar 479 hari per sejuta jam kerja orang.

3. Rerata Hilangnya Waktu Kerja (Average Time Lost Rate/ALTR)
Ukuran indicator ini sering disebut juga ‘Duration Rate’ digunakan untuk mengidikasikan tingkat keparahan suatu kecelakaan. Dengan penggunaan ALTR yang dikombinasikan denga Frekwensi Rate akan lebih menjelaskan hasil kinerja program K3. ALTR dihitung dengan membagi jumlah hari yang hilang akibat kecelakaan dengan jumlah jam kerja yang hilang (LTI).
Rumus:

Average Time Lost Rate = (Number of LTI x 1,000,000) / Total Person-hours Worked

Atau

Average Time Lost Rate = ( Frekwensi Rate) / Severity Rate

Contoh:
Organisasi dengan tenaga kerja 500 orang, jumlah jam kerja yang telah dicapai 1,150,000 juta jam kerja orang dan Lost Time Injury-nya (LTI) sebesar 46. Misalkan dari laporan Kecelakaan Kerja selama 6 bulan diperoleh informasi sbb:
10 kasus hilang waktu kerja dalam 3 hari sekali = 30
8 kasus hilang waktu kerja dalam 6 hari sekali = 48
12 kasus hilang waktu kerja dalam 14 hari sekali = 168
4 kasus hilang waktu kerja dalam 20 hari sekali = 80
10 kasus hilang waktu kerja dalam 28 hari sekali = 280
2 kasus hilang waktu kerja dalam 42 hari sekali = 84
Total keseluruhan = 690 hari kerja hilang
Dengan demikian,

Rerata Hilangnya Waktu kerja = 690 / 46 = 15

Dari informasi contoh diatas manajemen akan lebih jelas memperoleh informasi bahwa organisasi mempunyai hilang waktu kerja kecelakaan sebesar 40 tiap sejuta jam kerja orang dengan rata-rata menyebabkan 15 hari tidak masuk kerja. Dengan informasi ini cukup bagi manajemen untuk membuat keputusan untuk pencegahan lebih lanjut.

4. Incidence Rate
Incidence rate digunakan untuk menginformasikan kita mengenai prosentase jumlah kecelakaan yang terjadi ditempat kerja
Rumus:

Incidence Rate = ( Jumlah Kasus x 100) / Jumlah tenaga kerja terpapar

Contoh : Masih melanjutkan kasus diatas

Incidence Rate = ( 46 x 100 ) / 500 = 9,2%

4. Frequency Severity Indicator (FSI)
Frequency Severity Indicator adalah kombinasi dari frekwensi dan severity rate.
Rumus:
FSI = ( Frekwensi Rate x Severity Rate) / 1,000

Contoh:
Frekwensi Rate : Severity Rate : FSI
2 125 0,5
4 250 1,0
8 500 2,0

Nilai FSI ini dapat kita jadikan rangking kinerja antar bagian di tempat kerja.

5. Safe-T Score

Safe T score adalah nilai indikator untuk menilai tingkat perbedaan antara dua kelompok yang dibandingkan. Apakah perbedaan pada dua kelompok tersebut bermakna atau tidak. Dalam statistik biasanya disebut sebagai t-test. Perbedaan ini dinilai untuk membandingkan kinerja suatu kelompok dengan kinerja sebelumnya. Hasil perbedaan ini dapat dijadikan apakah terjadi perbedaan yang mencolok atau tidak. Selanjutnya dapat dipakai untuk menilai kinnerja yang telah kita lakukan.
Rumus:

Safe-T Score =(Frekwensi Rate Sekarang – Frekwensi Rate Sebelumnya ) / ( ( Frekwensi Rate Sebelumnya)/ Juta jam kerja orang sekarang))

Interpretasi :
Score positif dari Safe T Score mengindikasikan jeleknya record kejadian, sebaliknya score negatif menunjukkan peningkatan record terdahulu. Interpretasi dari Score ini selengkapnya sebagai berikut:
• Safe T Score diantara +2.00 dan –2.00, artinya tidak ada perbedaan atau perbedaan tidak bermakna.
• Safe T Score lebih besar atau sama dengan +2.00 menunjukkan menurunnya performance/kinerja K3, atau ada sesuatu yang salah.
• Safe T Score lebih kecil atau sama dengan -2.00 menunjukkan membaikknya performance/kinerja K3, atau ada sesuatu yang baik dan perlu dipertahankan.

Contoh :
Lokasi A
-----------------------------------
Tahun lalu
– 10 kasus kecelakaan
- 10,000 jam orang kerja
Frekwensi Rate = 1,000

Tahun ini - 15 kasus kecelakaan
- 10,000 jam orang kerja
- Frekwensi Rate = 1,500

========================
Lokasi B
-------------------------------------------------
Tahun lalu – 1000 kasus kecelakaan
- 1000,000 jam orang kerja
- Frekwensi Rate = 1,000

Tahun ini – 1,100 kasus kecelakaan
- 1000,000 jam orang kerja
- Frekwensi Rate = 1,000

Frekwensi rate untuk lokasi A meningkat 50%, sedang pada B hanya 10%. Apakah ada sesuatu yang salah dari salah satu atau kedua data ini ?
Jawab:
Frekwensi Rate Sekarang – Frekwensi Rate Sebelumnya
Safe-T Score = -----------------------------------------------------------------
Frekwensi Rate Sebelumnya
Juta jam kerja orang sekarang

Lokasi A
Safe-T Score = (1,500 – 1,000)/ akar dari ( 1000/0.01) = 500/ 317 = Safe-T Score = +1,58

Artinya peningkatan 50% jumlah kasus pada lokasi A termasuk peningkatan yang tidak bermakna

Lokasi B
Safe-T Score = 1,100 – 1,000/ akar dari ( 1000/0.01) = 100/ 317 =Safe-T Score = +3,17
Artinya peningkatan 10% jumlah kasus pada lokasi ini ada perbedaan yang bermakna, artinya ada sesuatu yang salah, yang perlu mendapat perhatian.

6. Pemantauan Dengan Grafik Statistik (Control Chart Technique)
Fluktuasi kejadian dalam statistik merupakan hal yang biasa, yang menjadi pertanyaan dalam hal ini apakah fluktuasi kejadian tersebut masih dalam rentang sesuai ketentuan yang ditetapkan ataukah keluar dari rentang yang ditetapkan. Dengan dasar ini kita dapat menggunakan statistik untuk aplikasi pengendalian suatu aspek K3. Dengan diketahuinya batas-batas rentang (batas atas dan batas bawah) yang ditentukan dapat memberikan informasi kepada pengelola, bahwa suatu aspek K3 tersebut terkendali atau tidak terkendali. Contoh penggunaan statistik untuk pengendalian aspek K3 dapat dilihat di lampiran.

Aspek-aspek K3 yang dapat ditetapkan batas-batasnya meliputi:
• Hasil pengamatan perilaku tidak selamat
• Frekwensi rate
• Severity rate
• FSI
• Dll

Contoh penerapan Chart Control ini dapat dilihat pada lampiran.
Setelah data-data dihitung, kemudian dibuatlah grafik (chart), apabila ditemukan dari salah satu aspek K3 yang melewati batas-batas yang ditentukan, maka hal ini merupakan informasi untuk pengelola.

7. Safety Sampling (Survey K3)
Yang dimaksud Safety Sampling adalah mendapatkan data dengan cara observasi ke lapangan. Sebelum dilakukan observasi, terlebih dahulu ditetapkan apa yang mau diobservasi. Setelah itu tulis semua elemen yang akan menjadi obyek obaservasi. Misalnya observasi cara kerja/perilaku yang tidak selamat, maka sebelumnya kita tentukan jenis aktifitas apa saja yang tergolong '‘unsafe-act'’ Baru setelah ditentukan maka dilakukanlah observasi dengan turun dilakukan. Setiap hasil observasi/temuan harus dicatat dalam bentuk turus sehingga nantinya memudahkan membuat prosentase hasil pengamatan.

Untuk mendapatkan hasil pengamatan yang akurat maka masing-masing aspek amatan perlu divalidasi, dengan kata lain dihitung jumlah amatan minimum sehingga hasil amatan tersebut merupakan hasil yang akurat. Untuk menentukan jumlah amatan yang representatif digunakan rumus sebagai berikut:

N = 4 (1 – P) / Y2 (P)

Keterangan:
N = Jumlah keseluruhan pengamatan yang dibutuhkan
P = Prosentase dari unsafe observation
Y = derajat akurasi yang diinginkan (biasanya 10% atau 5%)

Contoh:
Dari hasil survey awal ditemukan 126 jumlah observasi ditemukan 32 amatan unsafe act, dengan demikian % unsafe act = 32 x 100/126 = 0,254. Untuk mengetahui jumlah amatan yang sebenarnya untuk hasil yang akurat, maka dimasukkanlah ke dalam rumus sebagai berikut:

N = 4 (1 – P) / Y2 (P)

N = 4 (1 – 0,25) / 0,102 (0,25)

= 3/0,0025 = 1,200 (jumlah observasi yang sebaiknya dilakukan)


III. HAL PENTING UNTUK DIINGAT
• Angka-angka Frekwensi Rate, Average Time Lost Rate dan Incidence Rate merupakan tingkat pencapaian yang sifatnya specifik per tempat kerja. Artinya angka perhitungan dari suatu perusahaan bukan merupakan standard yang dapat dibuat patokan, untuk tempat kerja yang lain. Ini disebabkan karena jumlah tenaga kerja yang tidak sama dan kondisi yang berlainan.

• Angka-angka ini tidak cocok diterapkan untuk jumlah tenaga kerja yang sedikit, karena akan kesulitan mencapai tingkat persejuta jam kerja orang terpapar.

• Rendahnya pencapaian angka ini tidak menggambarkan performa penerapan K3 secara keseluruhan (hanya mempertimbangkan insiden-insiden kecelakaan kerja saja). Tapi tidak menekankan upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan untuk pencegahan kecelakaan kerja.

• Angka ini tidak memperhitungkan jenis-jenis kecelakaan minor (tidak menyebabkan hilangnya hari kerja, termasuk didalamnya ‘near missess’ incident). Dengan demikian kecelakaan-kecelakaan ringan seperti, lecet akibat terjatuh, tangan tergores, hampir kejatuhan beban atau kejadian hampir celaka tidak masuk dalam perhitungan.


Info yang sangat menarik sayang kalo tidak disimak
best regards
SAFETY FIRST

Kecelakaan Kerja di Proyek Konstruksi [2]

Yes, langsung aja, melanjutkan dari tulisan sebelumnya...

Jadi gini, dari penelitan yang gue lakukan. Beberapa item utama yang menjadi fokus penelitian adalah:

1. Jenis pekerjaan yang paling sering terjadi kecelakaan kerja
2. Jenis pekerjaan yang paling sering terjadi kecelakaan kerja yang berakibat cedera ringan

3. Jenis pekerjaan yang paling sering terjadi kecelakaan kerja yang berakibat cedera berat

4. Jenis pekerjaan yang paling sering terjadi kecelakaan kerja yang berakibat cacat

5. Jenis pekerjaan yang paling sering terjadi kecelakaan kerja yang berakibat kematian


Nah, kemudian item utama ini disokong oleh beberapa item pendukung yang diteliti dari beberapa orang responden, item pendukung tersebut adalah:

1. Status pekerjaan
2. Lamanya pengalaman kerja
3. Pernah - tidaknya mengalami kecelakaan kerja

4. Tingkat cedera yang sering terjadi pada kecelakaan kerja

5. Tahapan pekerjaan proyek yang rawan kecelakaan

6. Ketinggian bangunan yang paling beresiko terjadi kecelakaan

7. Faktor yang paling berpengaruh pada kecelakaan kerja

8. Tingkatan penerapan program kesehatan dan keselamatan kerja.


Hasil penelitian yang didapatkan berupa item utama dan item pendukung selanjutnya diolah untuk mengetahui jenis pekerjaan beresiko tinggi dan faktor pendukung terjadinya kecelakaan tersebut. Adapun urutan analisis data adalah :

1. Menyusun item utama dan item pendukung dalam tabel

Penyusunan jenis – jenis ini dalam tabel bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam pengelompokan dan penilaian pada jenis yang sudah ditentukan sesuai tujuan penelitian. Untuk memudahkan pembuatan tabel, maka jawaban yang diberikan oleh responden akan diberikan kode dan kemudian disusun ke dalam tabel.

2. Pemberian skor

Pemberian skor bertujuan untuk memudahkan penilaian terhadap item – item yang diminati. Semakin tinggi minat responden terhadap jenis tersebut, maka skor yang diberikan juga tinggi.

3. Membuat perangkingan

Dari jawaban responden akan dibuat urutan pekerjaan yang beresiko kecelakaan tertinggi. Urutan ini akan didasarkan dari hasil atau output dari metode frequencies SPSS 11.5 dan untuk respon dari responden akan diuji dengan multiple response pada program SPSS 11.5. Dari dua metode ini juga akan diketahui jumlah data yang valid dari sebuah variabel.

4. Uji keselarasan Kendall

Uji keselarasan Kendall adalah salah satu metode pengujian akan keselarasan jawaban responden.

5. Korelasi Kendall

Dari data yang diperoleh akan diuji apakah terdapat variabel yang saling mendukung. Yang dianalisis disini adalah hubungan kecelakaan kerja dengan faktor ketinggian, kemudian faktor pengalaman dan kelengkapan alat.

Di sini gue nggak akan membahas sistem scoring yang gue lakukan, karena ribet banget jelasinnya. Heheh. Yang jelas, faktor-faktor seperti lama pengalaman kerja, posisi/jabatan pekerja di proyek, lokasi ketinggian item pekerjaan, semuanya masuk dalam rumusan scoring.
Untuk wacana responden bisa kalian lihat di gambar berikut:



Nah, dari hasil olahan data, item pekerjaan yang paling beresiko menimbulkan kecelakaan kerja adalah sebagai berikut:

1. Pekerjaan Bekisting ( 40 % )
2. Pekerjaan Atap ( 17.1 %)

3. Pekerjaan Kayu ( 14.3 %)

4. Pekerjaan Scaffolding ( 11.4 %)

5. Pekerjaan Penulangan ( 5.7 %)

6. Pekerjaan Dinding ( 5.7 %)

7. Pekerjaan Batu ( 2.9 %)

8. Pekerjaan Pengecoran ( 2.9 %)




Dari sekian banyak variabel data yang diolah, hasilnya nggak terlalu berbeda. Baik pada resiko terjadinya kematian, cedera berat, cedera sedang dan cedera ringan. Pekerjaan bekisting menempati urutan teratas.

Periode pelaksanaan pun ternyata juga berpengaruh pada angka kecelakaan kerja. 88.6% kecelakaan terjadi pada saat proyek pembangunan konstruksi gedung mencapai 50% sampai selesai. Yang mana masuk akal banget. Karena otomatis, lokasi ketinggian pekerjaan juga akan bertambah seiring dengan prosentase penyelesaian proyek.

Sedangkan faktor yang paling berpengaruh pada terjadinya kecelakaan kerja adalah sebagai berikut:

1. Kelalaian pekerja ( manusia ) ( 74.3 % )
2. Kelengkapan alat kerja (5.7 % )

3. Kelengkapan alat keselamatan kerja ( 2.9 % )


Nah, dari hasil pengolahan data lebih lanjut, diketahui bahwa jenis pekerjaan yang paling sering terjadi atau terdapat kecelakaan kerja adalah jenis pekerjaan bekisting ( 40 % ). Kecelakaan yang sering terjadi pada pekerjaan bekisting disini yang dimaksudkan oleh para responden lebih sering terjadi pada saat pembongkaran bekisting. Pekerjaan atap menempati urutan kedua ( 17.1 % ). Pada penelitian yang dilakukan oleh Diyarto dan Agus pada kontraktor kelas C, diketahui bahwa angka kecelakaan terbesar terjadi pada saat pekerjaan bekisting ( Agus dan Diyarto, 2002 ).


Tingkat cedera yang sering terjadi pada saat pembongkaran bekisting adalah cedera ringan (lihat gambar di atas), hal ini biasanya disebabkan oleh serpihan kayu dan paku pada struktur bekisting yang dibongkar menusuk tangan pekerja yang bersangkutan, terpukul palu juga salah satu penyebab cedera yang terjadi. Sedangkan cedera ringan yang terjadi pada pekerjaaan kayu disebabkan oleh tergoresnya tangan pekerja oleh serpihan kayu, terluka karena tergores gergaji dan tertusuk paku.


Sementara untuk tingkat cedera berat (lihat gambar di atas). Cedera yang sering diderita oleh pada bekerja adalah patah tulang, gegar otak. Pada pekerjaan bekisting ( 25.7 % ), cedera ini terjadi akibat terjatuh dari ketinggian atau tertimpa struktur bekisting. Biasanya terjadi pada pemasangan atau pembongkaran struktur bekisting lantai 2 ke atas, terjatuhnya pekerja sering terjadi akibat kurang kokohnya lantai kerja atau scaffolding tempat pekerja tersebut melakukan perkerjaaan struktur bekisting. Cedera berat juga sering terjadi pada pekerjaan atap. Pekerja tergelincir dari struktur atap dan terjatuh. Juga terdapat kasus benda yang terjatuh dari struktur yang dikerjakan di ketinggian, jatuh menimpa pekerja lain yang bekerja di bawah. Pekerja yang bekerja pada stuktur atap mempunyai resiko terjatuh yang tinggi karena para responden menyatakan bahwa kehadiran sabuk pengaman sering menyebabkan pekerja tidak nyaman dalam melaksanakan pekerjaannya, sehingga para pekerja yang bekerja di struktur atap jarang menggunakan sabuk pengaman.

Nah, pada penelitian gue, ternyata kecelakaan yang berujung pada kematian paling sering terjadi pada pekerjaan atap. Jatuh dari lantai 8 dengan alat pengaman lengkap aja udah hampir pasti Innalillahi. Apalagi nggak pake?

Moreover, hasil penelitian gue diamini oleh Ir. A. Koesmargono,. MCM, Phd., dari Universitas Atma Jaya Jogjakarta (moga-moga beliau nggak keberatan namanya gue cantumin di sini). Beliau berpendapat bahwa ada kesesuaian pada hasil jenis kecelakaan yang diteliti dengan data kecelakaan secara global. Pada proyek konstruksi bangunan gedung, kecelakaan sering terjadi pada :

1. Pekerjaan struktur yang berada di ketinggian
2. Pekerjaan penggalian

Kesesuaian yang dimaksud disini, bahwa kecelakaan pada pekerjaan bekisting yang didapatkan dari jawaban responden, adalah pekerjaan bekisting pada ketinggian struktur di atas dua lantai. Btw, gue jadi inget kalo gue belum kirim hasil penelitian gue ke beliau.. Maaf ya Pak :D

So.. that’s about it. Untuk tulisan K3 selanjutnya gue akan membahas tentang solusi K3 berdasarkan TQM. Di mana Untuk lebih meminimalisasi angka kecelakaan yang terjadi maka perlu diadakan sebuah sistem kontrol pada manajemen dan kualitas proyek secara menyeluruh ( Total Quality Management ; TQM ). Mulai dari pemilik proyek sampai pada manajemen dan pelaksana proyek, melaksanakan kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja secara menyeluruh.